People Power, Bukan Sebuah Solusi!
Ust. Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc.
-hafizhahullah-
Bismillah...
Gerakan
“People Power” ini jelas menguras waktu, tenaga dan harta benda dalam perkara
yg sia-sia di Bulan Romadhon ini, yg semestinya kita isi dengan kesejukan hati
berupa memperbanyak amal-amal sholih, dan memperbanyak doa serta memohon
ampunan kepada Allah -Ta’ala- agar negeri ini diberkahi oleh Allah dan
dijauhkan dari makar dan rencana jahat kaum kafirin.
Jika
mereka meyakini adanya KECURANGAN dalam pemilu, maka sebenarnya
urusannya SEDERHANA dan tak serumit apa yang kita saksikan hari ini
berupa gerakan massa yg lebih santer dengan istilah PP (People Power) yang
melahirkan berbagai kerugian dan mafsadah (kerusakan) bagi seluruh lini
kehidupan masyarakat.
Kami
katakan bahwa hal itu SEDERHANA. Sebab, jika terjadi kecurangan, maka
wewenang dan tanggung jawab dalam menuntut keadilan dlm kecurangan itu,
bukanlah hak setiap orang. Itu hanyanya urusan Bapak Prabowo dan Sandiaga untuk
menuntut dan membuktikannya dengan fakta, saksi, dan bukti yg akurat.
Kemudian
yang menghakimi dan memberi keputusan final juga, bukan masyarakat, keputusan
kembali kepada MK (Mahkamah Konstitusional) yang memutuskan
benar-tidaknya terjadi kecurangan dalam hal itu.
Adapun
menggerakkan massa untuk demonstrasi menuntut BAWASLU, maka itu bukanlah
solusi, bahkan demo ini merupakan luapan emosional yang frontal dan anarkis yg
tidak dibenarkan oleh Islam, karena akan melahirkan perpecahan, kebencian,
kerusakan, tindak anarkis, dan kerugian dalam berbagai sektor, termasuk juga
mencoreng nama Islam dan kaum yang selama ini dikenal sebagai umat “sopan,
santun dan beretika serta rahmatan lil alamin”.
Sebagian
di antara para peserta PP (People Power) tersebut membawa slogan "Jihad
Konstitusional", ini merupakan istilah baru dalam agama. Sejak kapan
ada dalam kitab-kitab ulama istilah "Jihad Konstitusional"?
Ini
istilah baru yg ditunggangi oleh mereka agar gerakan massa mereka terlihat
dibenarkan oleh syariat. Padahal syariat tidaklah membenarkan sedikitpun segala
bentuk pembangkangan, pemberontakan, revolusi, people power, reformasi yang semuanya
hanya melahirkan buah pahit bagi bangsa ini.
Sisi lain,
jihad dalam Islam, haruslah dipimpin oleh pemimpin tertinggi negara, dalam
hal PRESIDEN RI, Bapak Jokowi. Namun realitanya beliau mengeluarkan larangan
melalui lembaga kemanan (POLRI) sebagaimana yang dapat kita dapatkan dengan mudah
melalui medsos. Gerakan massa PP ini, hakikatnya adalah usaha dalam merencanakan
pemberontakan yang mirip dengan “Aksi Reformasi” pada tahun 1998 M yang
silam.
Cuma
bedanya, kalau aksi PP ini, terkait dengan tuduhan kecurangan dalam pemilu,
sedang Aksi Reformasi terkait dengan tuduhan korupsi terhadap Presiden
Soeharto. Namun hasilnya sama-sama melahirkan kerusakan bagi Islam dan kaum
muslimin, serta bangsa ini.
Pada Aksi
Reformasi, kerusakan setelah aksi amat jelas, dengan terbukanya kesempatan bagi
kaum komunis, kaum kafir dan kaum munafikin untuk melancarkan misi dan makar
mereka dalam merusak Islam dan kaum muslimin, melalui misi-misi dan
langkah-langkah terencana yang kini kita rasakan buah pahitnya pada hari ini.
Bahkan
para pengusung People Power hari ini juga banyak di antara mereka yang mengamini
dan mengikuti Aksi Reformasi 1998 tsb. Nah, kini mereka sendiri yg menelan pil
pahitnya gerakan reformasi yg didalangi si Amin Rais kala itu. (Halo Bapak
REFORMASI, apa kabar reformasimu hari ini? Manis atau pahit?! Kalau di dunia
pahit, di akhirat lebih pahit Bung!)
Pemberontakan
dan keluar dari ketaatan kepada pemerintah (kecil atau besar skalanya), maka Islam
tidaklah membenarkannya.
Ibnu ‘Umar
-rodhiallohu ‘anhuma- berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah -shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِىَ
اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ
بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa
yang melepaskan tangannya dari ketaatan pada pemimpin, maka ia pasti
bertemu Allah pada hari kiamat dengan tanpa argumen (yang bermanfaat baginya).
Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak ada baiat di lehernya, maka ia mati
dengan cara mati jahiliyah.” (HR. Muslim no. 1851).
Hilangnya
ketaatan kepada pemerintah muslim, dengan melakukan gerakan-gerakan
pemberontakan, apapun namanya, entah dinamai “people power”, “reformasi”,
“aksi”, “demonstrasi”, “reuni”, “unjuk rasa”, “protes”, “gugatan”, atau
“menuntut keadilan”, dan lain-lainnya) dengan terang-terangan, maka semua
itu terlarang brdasarkan hadits di atas.
Jika kita
merasa bahwa kita hidup di negeri ini dalam pemerintahan yang zolim dan curang,
maka tidak ada solusi yang terbaik bagi kaum muslimin, melainkan SABAR dan BERDOA
Al-Imam
Fudhoil bin ‘Iyadh At-Tamimiy –rahimahullah- berkata,
لَوْ أَنَّ لِيَ
دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً مَا صَيَّرْتُهَا إِلَّا فِي الْإِمَامِ
“Andaikan
aku memiliki doa yang terkabulkan, maka aku tidak memperuntukkannya, melainkan
untuk pemimpin negeri.”
Atsar
Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’ (8/91)
Adapun
perintah bersabar menghadapi pemimpin yang zolim, datang sebuah hadits dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma, dari Nabi ﷺ beliau bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا
يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا
فَمَاتَ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa
yang melihat pada pemimpinnya sesuatu yang ia benci, maka hendaklah ia bersabar
atas hal tersebut. Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah
(persatuan kaum muslimin) satu jengkal, lalu ia meninggal dunia, maka ia
meninggal dunia seperti mati jahiliyah” HR. Al-Bukhariy (no. 7054), dan Muslim (no. 1849).
Jika
kalian merasa diambil haknya atau dizolimi, maka mintalah gantinya kepada dan
minta agar Allah memberi hidayah bagi pemerintah kita.
Abdullah
bin Mas’ud -radhiyallahu ’anhu- berkata,
“Rasulullah
-shallallahu alaihi wa sallam- bersabda kepada kami,
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً
وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا
“Kalian
akan menyaksikan sikap-sikap egois (yakni, kezoliman penguasa, korupsi,
kecurangan dan lain-lain) sepeninggalku, dan beberapa perkara yang kalian
ingkari”.
Para
sahabat bertanya, “Lantas bagaimana anda menyuruh kami ya Rasulullah?”
Nabi
menjawab,
«أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ، وَسَلُوا
اللَّهَ حَقَّكُمْ»
“Tunaikanlah
hak mereka dan mintalah kepada Allah hak kalian!”
HR. Al-Bukhoriy
(no. 7052)
Adapun
melakukan kudeta, pemberontakan dan pembangkangan melalui aksi-aksi,
ceramah-ceramah, tulisan-tulisan dalam menyebar aib pemerintah yang dapat
memprovokasi rakyat, maka ini bukanlah ajaran Nabi -shollallohu alaihi wa
sallam-.
PERHATIKAN
BAIK-BAIK PETUNJUK NABI -shollallohu alaihi wa sallam- DALAM MENGHADAPI
PEMIMPIN MUSLIM YANG ZOLIM melalui hadits-hadits berikut :
Rasulullah
-shollallohu alaihi wa sallam- bersabda,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ
تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ
وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
“Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka,
mereka mendo’akan kalian dan kalian mendo’akan mereka. Dan seburuk-buruk
pemimpin kalian adalah yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka
mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka“.
Kemudian
seorang sahabat bertanya kepada Nabi ﷺ apakah boleh pemimpin semacam itu kita
perangi dengan pedang (memberontak). “Ya Rasulullah, tidakkah kita perangi
saja mereka dengan pedang?”
Nabi
-shollallohu alaihi wa sallam- menjawab,
لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ
وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ
وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Tidak!
Selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari
pemimpin kalian sesuatu yang tak baik, maka bencilah tindakannya dan janganlah
kalian melepaskan ketaatan kepada mereka.” (HR. Muslim No. 3447).
SOLUSI yang beliau berikan bukanlah
merencanakan makar, pemberontakan, demonstrasi, people power, kudeta, aksi, dan
lain-lainnya dalam rangka protes terhadap mereka.
Tapi
SOLUSI NABI -shallallahu alaihi wa sallam- adalah berisi ketenangan : benci
tindakan munkarnya, tapi jangan keluar dari ketaatan kepadanya dalam perkara
kebaikan. Doakan kpd Allah Pengatur Segala Urusan, mintakan kebaikan bagi mereka
(pemerintah) agar mereka diberi taufiq menjalankan petunjuk Allah dan Rasul-Nya
-shollallohu alaihi wa sallam-.
Anggaplah
hakmu diambil dan dirampas oleh mereka, maka tetap anda bersabar demi kebaikan
Islam dan kaum muslimin, jangan sekali-kali melakukan pembangkangan dan apalagi
pemberontakan!
Dengarkan
sebuah hadits dari sahabat Hudzaifah bin Yaman -radhiyallahu ’anhu-
bahwa Rasulullah -shollallohu alaihi wa sallam- bersabda,
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ،
لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ
“Akan
ada sepeninggalku nanti para penguasa yang merek tidak berpegang dengan
petunjukku dan tidak mengikuti sunahku.”
“Apa
yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Tanya sahabat Hudzaifah.
Rasulullah
menjawab,
تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ،
وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
“Hendaknya
kamu mendengar dan taat kepada penguasa tersebut, walaupun punggungmu dicambuk
dan hartamu dirampas olehnya, dengarlah perintahnya dan taatilah”
[HR. Muslim
dalam Shohih-nya (no.1476 & 1847)]
Sebagian
kaum pergerakan (harokiyyun) beralasan, “Kami melakukan aksi dalam rangka amar
ma’ruf dan nahi munkar atas kezoliman pemerintah!”
Untuk
menjawab hal ini, kita serahkan jawabannya kepada Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah.
Ibnu
Qoyyim Al Jauziyyah
-rahimahullah- berkata,
إِذَا كَانَ إنْكَارُ الْمُنْكَرِ
يَسْتَلْزِمُ مَا هُوَ أَنْكَرُ مِنْهُ وَأَبْغَضُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
فَإِنَّهُ لَا يَسُوغُ إنْكَارُهُ، وَإِنْ كَانَ اللَّهُ يُبْغِضُهُ وَيَمْقُتُ
أَهْلَهُ، وَهَذَا كَالْإِنْكَارِ عَلَى الْمُلُوكِ وَالْوُلَاةِ بِالْخُرُوجِ
عَلَيْهِمْ؛ فَإِنَّهُ أَسَاسُ كُلِّ شَرٍّ وَفِتْنَةٍ إلَى آخِرِ الدَّهْرِ،
«وَقَدْ اسْتَأْذَنَ الصَّحَابَةُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - فِي قِتَالِ الْأُمَرَاءِ الَّذِينَ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ
وَقْتِهَا، وَقَالُوا: أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ؟ فَقَالَ: لَا، مَا أَقَامُوا
الصَّلَاةَ» وَقَالَ: «مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ مَا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ
وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِ» وَمَنْ تَأَمَّلَ مَا جَرَى عَلَى
الْإِسْلَامِ فِي الْفِتَنِ الْكِبَارِ وَالصِّغَارِ رَآهَا مِنْ إضَاعَةِ هَذَا
الْأَصْلِ وَعَدَمِ الصَّبْرِ عَلَى مُنْكَرٍ؛ فَطَلَبَ إزَالَتَهُ فَتَوَلَّدَ
مِنْهُ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْهُ؛ فَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَرَى بِمَكَّةَ أَكْبَرَ الْمُنْكَرَاتِ وَلَا يَسْتَطِيعُ
تَغْيِيرَهَا، بَلْ لَمَّا فَتَحَ اللَّهُ مَكَّةَ وَصَارَتْ دَارَ إسْلَامٍ عَزَمَ
عَلَى تَغْيِيرِ الْبَيْتِ وَرَدِّهِ عَلَى قَوَاعِدِ إبْرَاهِيمَ، وَمَنَعَهُ
مِنْ ذَلِكَ - مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَيْهِ - خَشْيَةُ وُقُوعِ مَا هُوَ أَعْظَمُ
مِنْهُ [إعلام الموقعين عن رب العالمين (3/ 12)]
“Apabila
mengingkari kemungkaran menyebabkan kemungkaran yang lebih besar serta
kemungkaran yang lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh
dilakukan. Meskipun sebenarnya Allah membenci dan memurkai pelaku kemungkaran
tersebut. Di antaranya seperti mengingkari kemungkaran para raja dan penguasa,
dengan melakukan pemberontakan kepada mereka. Karena, sesungguhnya perbuatan
seperti itu sumber mala petaka dan musibah sepanjang zaman.
Salah
seorang sahabat telah memohon izin kepada Rasulullah ﷺ untuk
memerangi para penguasa yang mengakhirkan sholat dari waktunya, mereka berkata,
“Tidakkah mereka kita perangi saja wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Tidak,
selagi mereka masih melaksanakan shalat.”
Siapa
yang merenungi petaka yang terjadi pada umat Islam, baik petaka besar maupun
kecil, maka itu terjadi disebabkan mengabaikan prinsip ini, serta tidak
bersabar terhadap kemungkaran penguasa, sehingga ia menuntut untuk
melengserkannya, yang menyebabkan terjadinya kemungkaran yang lebih besar.
Nabi
ﷺ telah menyaksikan di kota Makkah
kemungkaran yang paling besar (kemusyrikan), namun beliau tidak mampu
mengubahnya. Barulah ketika Allah membukakan kota Makkah dan menjadi negeri
Islam, beliau bertekad merenovasi Ka’bah, untuk dikembalikan seperti pondasi
Ibrahim. Namun beliau urung melakukannya -padahal beliau mampu- karena khawatir
terjatuh pada mafsadah yang lebih besar…” [Lihat I’laam Al-Muwaqq’iin, (jld. 3/hlm.
12)]
Sebagian
orang bertanya, “Saat kita diperintah oleh Allah dan Rasul-nya untuk sabar dan
berdoa dalam menghadapi kezoliman penguasa, apakah kita berpangku tangan tanpa
harus mengingkari dan menasihati penguasa?”
JAWABANNYA
:
Wajib kita
tegakkan nasihat dan inkarul munkar, tapi tentunya dengan cara-cara yg
dianjurkan oleh agama berupa nasihat yang sopan dan lembut, penuh persahabatan,
ikhlash (bukan karena ingin kursi dan pujian), dan dilakukan secara rahasia,
bukan secara terang-terangan.
Rasulullah
-shollallohu alaihi wa sallam- telah mengajarkan kepada kita tentang cara
mengingkari kemungkaran penguasa.
Beliau
sampaikan hal itu melalui sabdanya,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ
بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ،
فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى
الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barang
siapa yang ingin menasehati para penguasa dengan suatu urusan, maka jangan
dengan terang-terangan. Akan tetapi pegang tangannya, berduaanlah. Apabila
nasehatnya diterima, maka itulah yang diharapkan, bila tidak diterima, maka ia
(si penasihat) telah menyampaikan haknya (yakni, hak penguasa) yang merupakan
kewajiban baginya (yakni, bagi si penasihat).”
[HR Ahmad dalam
Al-Musnad (no. 15369) dan yang lainnya, serta di-shahih-kan
oleh Al Albani di kitab Fi Dzilalil Jannah (no. 1096)]
Kenapa
harus rahasia?
Harus
rahasia, sebab itu menyangkut harga diri seorang penguasa. Bukankah anda saat
dinasihati, maunya dinasihati secara rahasia?! Nah, begitu pun pemerintah yang
berkuasa, juga maunya dinasihati secara rahasia, bukan terang-terangan di depan
publik!
Kenapa
harus lembut dan bersahabat?
Sebab,
itulah yang Allah perintahkan kepada Nabi Musa dan Harun saat mereka diperintah
menasihati Fir’aun Sang Penguasa Zolim yang melebihi kezolimannya para penguasa
masa kini.
Allah
-Azza Wa Jalla- brfirman,
اذْهَبَآ إِلَى
فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى {43} فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ
يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى {44}
”Pergilah
kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut
mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS.Thooha : 43-44)
Ini
merupakan salah satu bentuk kelembutan, kemurahan, kebaikan, dan kasih sayang
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- kepada makhluk-Nya.
Meskipun
Allah telah mengetahui kekafiran, keingkaran, kezoliman, dan kesombongan
Fir’aun, Allah tetap mengirimkan orang-orang terbaik pada saat itu kepadanya
untuk mengingatkan dan menyelamatkannya.
Lalu
bagaimana pandangan anda kira-kira dengan seorang presiden yang masih muslim
dan tidak pernah membantai rakyatnya?!
Tentu ia
lebih pantas untuk sikapi penuh dengan kelembutan, bukan dengan sikap arogan,
brutal, dan anarkis.
Ada satu
hal yang penting kami tegaskan bahwa tugas menasihati penguasa secara rahasia
dan penuh adab kesopanan, bukan tugas setiap orang. Tapi itu adalah tugas para
ulama sunnah yang bijak dan penyabar, bukan ulama-ulama yang mudah naik pitam
dan gampang memprovokasi rakyat!
Disana
terdapat solusi yang tidak kalah pentingnya dalam memperbaiki keadaan umat,
yaitu gerakan tashfiyah (pemurnian), dan tarbiyah syar’iyyah (pendidikan syar’i)
bagi manusia.
Kita
murnikan aqidah, ibadah, dan akhlak mereka dari segala penyimpangan dan
kekeliruan dengan mengajarkan ilmu yang lurus dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
benar datangnya dari Nabi –shallallahu alaihi wa sallam-, bukan dengan
hadits-hadits dho’if (lemah), apalagi maudhu’ (palsu), dengan berpedoman kepada
petunjuk dan manhaj As-Salaf Ash-Sholih dari kalangan para sahabat, tabi’in,
dan tabi’ut tabi’in serta para ulama Sunnah yang mengikuti jalan dan manhaj
mereka dalam beragama!
Kenapa
gerakan at-tashfiyah dan at-tarbiayah ini amat penting? Penting
kedudukannya, sebab baiknya masyarakat kaum muslimin dan manusia secara umum
adalah dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah di atas pemahaman para salaf.
Nah, jika masyarakat baik, karena mereka menerapkan Islam, maka tentunya
pemimpin yang tampil akan muncul dari masyarakat yang baik ini.
Para
pembaca yang budiman, kita kembali kepada pembahasan di atas bahwa Islam adalah
agama damai, dan rahmatan lil ‘alamin, bukan agama kekacauan dan keributan.
Oleh
karena itu, Islam memerintahkan umatnya untuk menciptakan kedamaian dan
menghapus segala sebab yang melahirkan kekacauan, ketakutan, dan keributan.
Inilah
alasannya kenapa agama kita melarang segala bentuk pemberontakan, baik dalam skala
kecil atau besar, baik pemberontakan dengan senjata, maupun dengan lisan atau
tulisan, berdasarkan hadits-hadits di atas.
Imam
Abu Ja’far Ath-Thohawiy
–rahimahullah- berkata saat menghikayatkan aqidah Ahlus Sunnah,
وَلَا نَرَى
الْخُرُوجَ عَلَى أَئِمَّتِنَا وَوُلَاةِ أُمُورِنَا وإن جاروا، ولا ندعوا عَلَيْهِمْ وَلَا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِمْ
“Kami
(Ahlus Sunnah) tidak memandang bolehnya pemberontakan atas para pemimpin dan
pemerintah kami, sekalipun mereka zalim.”
Lihat Al-Aqidah
Ath-Thohawiyyah (hlm. 68), cet. Al-Maktab Al-Islamiy, tahqiq
Al-Albaniy, 1414 H.
Imam
An-Nawawiy
–rahimahullah- berkata,
وَأَمَّا
الْخُرُوجُ عَلَيْهِمْ وَقِتَالُهُمْ فَحَرَامٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ
كَانُوا فَسَقَةً ظَالِمِينَ
“Adapun
melakukan pemberontakan melawan mereka (pemerintah muslim) dan memerangi
mereka, maka haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin,
walaupun para pemerintah itu fasik lagi zalim.”
Lihat Syarh
Shohih Muslim (12/229), cet. Ihya’ At-Turots Al-Arobiy, 1392 H
Dari ijma’
(kesepakatan) inilah, Ahlus Sunnah menetapkan sebuah manhaj dan prinsip dalam
beraqidah bahwa wajib menaati pemerintah muslim dalam perkara yang ma’ruf, dan
haram melakukan pemberontakan.
Apalagi di
balik pemberontakan itu akan lahir berbagai kerusakan yang kadang di luar dari
dugaan dan perkiraan kita.
Lihatlah
rakyat Suriah hari ini dalam kesusahan berkepanjangan sejak mereka menjalankan
aksi PEOPLE POWER yang akan dikenang sepanjang sejarah!
Ibnu
Abil ‘Izz Al-Hanafiy
–rahimahullah- berkata,
وَأَمَّا لُزُومُ
طَاعَتِهِمْ وَإِنْ جَارُوا، فَلِأَنَّهُ يَتَرَتَّبُ عَلَى الْخُرُوجِ مِنْ
طَاعَتِهِمْ مِنَ الْمَفَاسِدِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ مِنْ جَوْرِهِمْ
“Adapun
menetapi ketaatan kepada pemerintah (muslim), sekalipun mereka zalim, maka
karena terakibatkan dari ketidaktaatan kepada mereka berbagai macam kerusakan
yang berlipat-lipat melebihi kerusakan yang timbul dari kezaliman mereka.”
Lihat Syarh
Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyyah (2/543), cet. Mu’assasah Ar-Risalah, 1417 H
Sebuah
perkara yang harus kita catat bahwa dalam sejarah kaum muslimin telah berlalu berbagai
macam pemberontakan, namun apa yang tersisa dari dampak buruk pemberontakan
itu, masih terus dirasakan oleh kaum muslimin. Bahkan dampak buruknya luar
biasa pengaruhnya.
Ibnu
Taimiyyah Al-Harroniy
–rahimahullah- berkata,
وَقَلَّ مَنْ
خَرَجَ عَلَى إِمَامٍ ذِي سُلْطَانٍ إِلَّا كَانَ مَا تَوَلَّدَ عَلَى فِعْلِهِ مِنَ الشَّرِّ أَعْظَمَ
مِمَّا تَوَلَّدَ مِنَ الْخَيْرِ
“Jarang
ada yang melakukan pemberontakan atas pemerintah yang berkuasa, melainkan apa
yang terlahirkan berupa keburukan adalah lebih besar daripada kebaikan yang
terlahirkan darinya”.
Lihat Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah (4/527-528),
cet. Jami’atul Imam, tahqiq Muhammad Rosyad Salim.
Oleh
karena itu, para ulama umat mengingatkan kita dengan baik agar umat Islam
jangan melakukan sebab-sebab yang melahirkan pemberontakan bersenjata yang
didahului dengan hasutan-hasutan dan membakar emosi rakyat.
Jika
seseorang melihat kesalahan pada pemimpinnya, maka hendaknya ia menasihatinya
dengan cara yang benar menurut syariat, seperti menasihatinya secara rahasia,
dan tidak menampakkan caci-makian dan kecaman atasnya di depan publik. Sebab,
hal itu (cacian dan kecaman) akan memancing emosi rakyat untuk melakukan
perlawan dan pemberontakan.
Imam
Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy –rahimahullah- berkata,
ينبغي لمن ظهر له
غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد
“Sepantasnya
bagi orang yang tampak baginya kesalahan pemerintah dalam sebagian perkara
untuk menasihatinya, dan tidak menampakkan caci-makian
atasnya di depan publik”
Lihat As-Sail
Al-Jarror Al-Mutadaffiq ala Hada’iq Al-Azhar (hlm. 965), cet. Dar Ibn
Hazm
Anggaplah
pemimpin muslim itu tidak mendengarkan nasihat kita, karena sesuatu dan lain
hal, maka di depan kita ada solusi lain berupa doa dan kesabaran.
Al-Hafizh
Ibnu Abdil Barr Al-Andalusiy –rahimahullah- berkata,
إِنْ لَمْ يَكُنْ
يَتَمَكَّنُ نُصْحَ السُّلْطَانِ فَالصَّبْرُ وَالدُّعَاءُ فَإِنَّهُمْ كَانُوا
يَنْهَوْنَ عَنْ سَبِّ الْأُمَرَاءِ
“Jika
seseorang tidak mampu menasihati penguasa, maka (solusinya) adalah bersabar dan
berdoa. Karena, mereka (para salaf) melarang dari mencela pemerintah.”
Lihat At-Tamhid
lima fi Al-Muwaththo’ min Al-Ma’ani wa Al-Asanid (21/287)
Ketahuilah
–wahai saudara-saudaraku- bahwa kebiasaan mencela pemimpin muslim adalah
kebiasaan kaum munafikin. Sebab, mereka memang selalu mencari celah dalam
menjatuhkan pemimpin kaum muslimin. Nah, dengan jatuhnya pemimpin kaum
muslimin, maka ada kesempatan bagi mereka berbuat makar dan rencana jahat dalam
merusak umat ini.
Karena
itu, jangan kita mengikuti kebiasaan mereka, agar umat ini senantiasa terjaga
dengan keberadaan pemimpin mereka yang muslim.
Abud
Darda’ Al-Khozrojiy –radhiyallahu
anhu- berkata,
إِنَّ أَوَّلَ
نِفَاقِ الْمَرْءِ طَعْنُهُ عَلَى إِمَامِهِ
“Sesungguhnya
awal kemunafikan seseorang adalah celaannya kepada pemimpin negerinya.”
Atsar
Riwayat Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (30/12) dan Ibnu Asakir
dalam Tarikh Dimasyq (47/190)
Kemudian,
perlu kami kami ingatkan bahwa pemberontakan itu, bukanlah hanya pemberontakan
bersenjata, bahkan termasuk dalam pemberontakan yang terlarang adalah menghasut
dan memanas-manasi rakyat untuk membenci dan melawan pemerintahnya.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata,
بل العجب أنه وُجّه الطعن إلى الرسول
صلى الله عليه وسلم ، قيل لـه : اعدل، وقيل لـه: هذه قسمة ما أريد بها وجه الله.
وهذا أكبر دليل على أن الخروج على الإمام يكون بالسيف ويكون بالقول والكلام، يعني:
هذا ما أخذ السيف على الرسول صلى الله عليه وسلم، لكنه أنكر عليه.
ونحن نعلم علم اليقين بمقتضى طبيعة
الحال أنه لا يمكن خروج بالسيف إلا وقد سبقه خروج باللسان والقول. الناس لا يمكن
أن يأخذوا سيوفهم يحاربون الإمام بدون شيء يثيرهم، لا بد أن يكون هنـاك شيء يثـيرهم
وهو الكلام. فيكون الخروج على الأئمة بالكلام خروجاً حقيقة، دلت عليه السنة ودل
عليه الواقع
“Sangat
mengherankan tatkala celaan itu diarahkan kepada Rasulullah –shallallahu alaihi
wa sallam- (yaitu yang dilakukan oleh pentolan Khawarij, Dzul Khuwaisiroh).
Dikatakan kepada beliau –shallallahu alaihi wa sallam-,
“Berlaku
adillah!”
Juga
dikatakan,
“Pembagianmu
ini tidak menginginkan wajah Allah!” Ini adalah sebesar-besarnya dalil yang
menunjukkan, bahwa memberontak kepada penguasa bisa jadi dengan senjata, bisa
jadi pula dengan ucapan dan kata-kata.
Maksudnya,
orang ini tidaklah memerangi Rasul –shallallahu alaihi wa sallam- dengan
pedang, akan tetapi ia mengingkari beliau –shallallahu alaihi wa sallam- (dengan
ucapan di depan umum).
Kita
tahu dengan pasti bahwa kenyataannya, tidak mungkin terjadi pemberontakan
dengan senjata, kecuali telah didahului dengan pemberontakan dengan lisan dan
ucapan. Manusia tidak mungkin mengangkat senjata untuk memerangi penguasa,
tanpa ada sesuatu yang bisa memprovokasi mereka. Mesti ada yang bisa
memprovokasi mereka, yaitu dengan kata-kata. Jadi, memberontak terhadap
penguasa dengan kata-kata, adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan
dalil As-Sunnah dan kenyataan.”
[Lihat Fatawa
Al-‘Ulama Al-Akabir, (hal. 96)]
Syaikh
Sholih bin Abdillah Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata,
الخروج أنواع :
* الخروج بالكلام إذا كان يحث على
الخروج ويرغب بالخروج على ولي الأمر
هذا خروج ولو ما حمل السلاح؛ بل ربما
يكون هذا أخطر من حمل السلاح، الذي ينشر فكر الخوارج ويرغب فيه، هذا أخطر من حمل
السلاح
* يكون الخروج بالقلب أيضا إذا لم يعتقد
ولاية ولي الأمر وما يجب له ويرى بغض ولاة الأمور المسلمين،
هذا خروج بالقلب
الخروج قد يكون بالقلب والنية
قد يكون بالكلام، ويكون بالسلاح أيضا،
نعم".
“Pemberontakan
itu ada beberapa macamnya:
- Memberontak dengan ucapan, dengan cara mendorong dan mengagitasi umat untuk memberontak terhadap penguasa muslim.
- Ini juga termasuk pemberontakan, walaupun tidak mengangkat senjata. Bahkan seringkali yang seperti ini lebih berbahaya daripada pemberontakan dengan mengangkat senjata
- Orang yang menyebarkan pemikiran Khawarij dan mendukung pemahaman ini, lebih berbahaya daripada mengangkat senjata.
- Pemberontakan dengan hati, apabila seseorang tidak meyakini keabsahan kekuasaan penguasa muslim, tidak mau menaatinya serta memandang harus membenci penguasa kaum muslimin. Ini termasuk pemberontakan dengan hati.
Pemberontakan
itu bisa dengan hati dan niat!
Syaikh
Abdul Aziz Ar-Rajihiy
–hafizhahullah- berkata,
فلا يجوز للإنسان أن ينشر المعايب. هذا
نوع من الخروج, إذا نُشِرَتِ المعايب -معايب الحكام والولاة- على المنابر, وفي
الصحف والمجلات, وفي الشبكة المعلوماتية؛ أبغض الناس الولاة, وألبوهم عليهم, فخرج
الناس عليهم
“Tidak
boleh bagi seseorang untuk menyebarkan aib-aib Pemerintah. Ini termasuk
pemberontakan, apabila aib-aib Penguasa disebarkan di mimbar-mimbar,
koran-koran, majalah-majalah dan jaringan informasi. Maka membuat orang-orang
marah dan berkumpul untuk melawan, maka mereka pun memberontak kepada
Pemerintah.”
[Lihat Syarhul Mukhtar fi Ushulis Sunnah, (hal. 339)]
Terakhir,
kami ingin mengingatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin di negeri ini
bahwa jagalah nikmat keamanan negeri ini. Sebab, kita telah menyaksikan krisis
kemanusiaan dan kemunduran suatu bangsa akibat aksi PEOPLE POWER yang mereka
dengungkan, karena hasutan para perusuh yang tidak memikirkan kebaikan kaum
muslimin.
Lihatlah
apa yang terjadi di Suriah, Aljaza’ir, Libia, Mesir, dan lainnya. Kini krisis
pangan, pakaian dan tempat tinggal, serta pendidikan melanda mereka.
Maukah
kita mengalami hal seperti itu akibat ulah kita sendiri?!
Karena
itu, ikutilah wejangan para ulama Sunnah dan dai-dai Sunnah yang mengajak
kalian kepada kedamaian, jangan termakan dengan propaganda sebagian orang yang
hanya berpikir picik, tanpa melakukan perhitungan dan pertimbangan panjang bagi
kebaikan umat di masa depan.
Ketahuilah
bahwa apa yang kalian lakukan berupa aksi turun ke jalan-jalan, bukanlah ajaran
Islam, apapun alasannya!
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِىَ
اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ
بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa
yang melepaskan tangannya dari ketaatan pada pemimpin, maka ia pasti bertemu
Allah pada hari kiamat dengan tanpa argumen (yang bermanfaat baginya).
Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak ada baiat di lehernya, maka ia mati
dengan cara mati jahiliyah.”
HR. Muslim
dalam Shohih-nya (no. 1851)
Apapun
alasannya, perlawanan, pemberontakan, dan pembangkangan kalian terhadap
pemimpin muslim, maka alasan dan argumen kalian tidak akan diterima di hadapan
Allah.
Al-Husain
bin Muhammad Az-Zaidaniy –rahimahullah- berkata,
من تركَ طاعة
الإمام يكونُ يومَ القيامة مأخوذًا، ولا يكون له عذرٌ؛ لأنه خالفَ أمر الرسول.
“Barang
siapa yang meninggalkan ketaatan kepada pemimpin (muslim), maka ia akan dihukum
pada Hari Kiamat, dan ia tidak memiliki uzur. Karena, ia telah menyelisihi
urusan (agama) Rasul.”
Lihat Al-Mafatih
fi Syarh Al-Mashobih (jld. 4/ hlm. 293)
Leave a Comment